Rabu, 27 November 2013

Cinta, Spiritual dan Kuliner dalam Novel Enigma, oleh Ngadiyo

Gempita Menyambut Karya Baru
Aku selalu penasaran, ingin tahu, tepatnya sangat antusias apabila ada buku yang baru terbit. Tidak hanya buku saja, tetapi setiap hari selalu ada gagasan, esai yang dimuat di koran-koran yang membuatku segera terpantik membacanya dari teman-teman esais yang mengabarkan tulisannya dimuat lewat telepon genggam. Dan juga karya-karya dari penulis lain yang segar dan intelektual. Bagiku ini adalah bagian dari etos literasi. Etos puja kata. Sungguh bahagia menyambut karya yang baru dipublikasikan.
Aku mengetahui novel Enigma akan terbit, terlebih dahulu, penulisnya, Yudhi Herwibowo, mengunggah cover yang mencerminkan roda kehidupan selalu berputar dengan latar warna hitam pekat di Facebook. Ada kalimat di bawah judul novel itu yang membuatku semakin penasaran tentang isinya.
... tentang sebuah kisah cinta dan sesuatu yang tidak terjelaskan...
Imaji yang terbayang dalam ruang nalarku adalah novel ini berisi tentang percintaan. Ya kisah cinta. Kalau sesuatu yang tidak terjelaskan membuatku berpikir bahwa novel ini kisahnya absurd. Ataukah kisah cinta yang tidak berujung? Cinta bertepuk sebelah tangan itu bisa dijelaskan. Cinta segi tiga juga bisa dinalar. Cinta monyet? Oh.
Dugaan awal saja sih.
Akhirnya novel Enigma terbit. Tanggal 14 September 2013, aku datang di diskusi kecil Pawon bersama Indah Darmastuti, Puitri N Hati, M R Johan dan Yudhi Herwibowo (sang pengarang Enigma). Begitu gempita hatiku ketika di atas meja kecil di mana kami duduk mengelilinya, Yudhi Herwibowo menceritakan kebahagiannya atas novel terbarunya yang sudah beredar di Gramedia, Togamas dll di seluruh Indonesia.
“Di Togamas baru datang lho? Diskon lagi,” kata Yudhi.
Aku manggut-manggut saja. Dalam hati usai diskusi kecil aku akan ke Togamas, membeli Enigma. Itu saja rencana yang membuat semakin penasaran dan antusias.
Benar. Aku menepati hatiku. Usai diskusi kecil aku bergegas menuju Togamas depan Kota Barat Surakarta. Langsung menuju bagian buku-buku baru (new arrival). Aku langsung mengambil Enigma dengan label tergantung di atasnya diskon 20%.

Keabsurdan di Awal Pembacaan
Suasana absurd. Hiruk pikuk orang yang sedang berkendara melintasi jalanan dengan lintasan benda apa yang tertangkap oleh mata. Itulah pembukaan novel ini.
Aku sempat berhenti membaca ketika sampai di halaman 50an. Ya karena belum mudeng saja.
Ini membuatku harus membaca Enigma dari awal lagi. Lagu Enigma juga kuputar lewat Youtube. Asyik juga menyimak lagu yang rancak sekaligus aneh di telinga.
Menikmati novel dengan alur cerita yang membumi, karena berlatar di Solo dan Yogyakarta, membuatku semakin paham lokalitas yang diangkat.
Penggambaran cerita setiap tokoh mulai dari Hasya, Patta, Isara, Goza, Indiray membuat pembaca semakin terbuai oleh cerita yang terus berkembang dan terasa didongengi. Dongeng persahabatan ketika kuliah, pekerjaan usai wisuda, percintaan antara teman satu dengan yang lain, kegagalan cinta dan tentu saja ketika berkumpul dengan sahabat pastilah ada acara makan-makan bersama. Dan itu tidak bisa dipisahkan dalam pertemanan dimana pun dan kapan pun. Selau ada makanan menemani obrolan.

Cinta dan Kuliner
Manusia secara alamiah memerlukan penyejuk spiritual. Pencarian spiritualitas membuat jiwa lebih ingin berdamai dengan kemanusiaan dan kematian.
Ada yang puas menjalani ritus keagamaan karena diajarkan sejak kecil. Ada pula yang senantiasa penasaran, bahkan ragu terhadap agama yang dipeluknya. Keraguan spiritual inilah mendorong kelompok kepercayaan yang dalam novel ini menamakan dirinya sebagai Pondok Pertobatan. Sebuah komunitas spiritual yang dimana agama di KTP tidak begitu berpengaruh terhadap eksitensialisme bertuhan.
Pondok Pertobatan menawarkan kepada salahsatu tokoh untuk berikhtiar menemukan kedamaian dari segala dosa yang telah diperbuat. Ketenangan hidup dari hiruk-pikuk dunia. Tokoh yang terlibat dalam pencarian kepercayaan seolah mengingatkan saya dengan gerakan Darul Arqam.
Beberapa dampak psikologis yang traumatis membuat orang kejam dan tega menjadi pembunuh. Ya, salahsatunya bisa kita temukan pada tokoh Goza. Si pembunuh bayaran yang berakhir senjata makan tuan saat akan dilaksanakan resepsi pernikahhan. Jebakan undangan pernikahan mengakhiri riwayat hidupnya.
Kisah cinta tanpa syarat antara kakak dan adik pun yang ingin selalu melindungi dalam novel ini membuktikan betapa kenangan dengan saudara terdekat begitu intim. Begitu menyentuh dan berpengaruh terhadap kejiwaan untuk senantiasa welas asih. Dunia anak yang penuh dengan permainan terus terbawa hingga dewasa. Walau harus kehilangan saudaranya.
Cinta dan seks begitu menggairahkan dan menantang dalam hidup Hasha. Seks adalah kompor yang selalu menyala. Melihat perempuan yang seksi tentu membuat gelora tersendiri dan ia pun sosok pria perayu ulung.
Yang membuatku terperangah dan ngiler saat membaca Enigma adalah kuliner lokal seperti pecel lele dan lotek. Lotek menjadi ikon kuliner istimewa dalam novel ini. Sebelumnya, aku belum pernah membaca novel yang mendeskripsikan lokalitas kuliner seperti dalam novel ini.
Novel Enigma enak dibaca. Mengalir dan sepertinya ruang-ruang hening begitu terasa. Terakhir, beberapa kesalahan ketik, typo, masih ada dalam novel ini. Begitu.

Kartasura, 25 November 2013


Ngadiyo, esais dan cerpenis. Bergiat di Pawon dan Bilik Literasi-Solo. Cerpennya yang berjudul “Langkah Tak Sempurna” memenangkan lomba Jika Aku Mereka dan akan diterbitkan oleh Gagas Media bersama 11 pemenang lainnya, Desember 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar