Rabu, 27 November 2013

Cuplikan Enigma, oleh Choerunnisa



Aura mistis, dan jiwa tokoh yang kuat. Kupercaya bahwa buku memiliki jiwa yang tak bisa dientengkan begitu saja, ya, enigma meyakinkan itu. Perkenalan keenamnya, Isara, Hasha, Kurani,  Patta, Gaza, dan Chang mnyimpulkan satu hal : Makanan membawa cerita baru. Peran lotek yang mengangkat budaya menjadikan Enigma adalah kumpulan budaya yang menawan.
Keenamnya memiliki karakteristik yang berbeda. Dan dengan berani Mas Yudi Herwibowo mempertemukan keenamnya dalam satu novel yang dibungkus sedemikian rupa. Asri. Setiap tokoh membawa jiwa masing-masing yang kemudian dikombinasikan dengan setting tempat yang kuat akan magis. Rumah lantai dua, ayunan, dan epitaf-epitaf bisa bercerita layaknya keenam lakonnya. Dan tokoh Isara membawa peran penting atas kebetahan dua pasang mata, bermanja-manja dengan novel ini. Gambaran masa depan, sempat ku bergumam ‘untung aku tidak merasakan apa yang Isara alami. Aku akan menjadi orang yang tidak akan pernah tenang hidupnya. Kematian, pembunuhan, romantisme, rasa putus asa, dan pelatuk pistol yang ditodongkan, bersiap mengakhiri hidup seseorang. Ya, semua itu ada di pelupuk mata, yang meski terpejam bayangan itu akan selalu hadir, akan hanya dirasakan olehku, sendirian.”
Patta, lakon yang paling tidak memiliki jiwa, menurutku. Penokohannya seperti angin lalu, terombang-ambing. Tidak ada khesan Patta yang tertinggal setelah menutup buku Enigma ini. Dan ketika bercerita ulang lakon Patta, seperti tidak ada kekuatan apa pun. Mengalir begitu saja. kehidupan terasa begitu rumit, dan ini baru dialamai oleh enam tokoh. Aku jadi berfikir, bagaimana sibuknya Tuhan mengurusi miliaran manusia dengan segala problema yang ditimbulkan. Untung saja jiwa malaikatku sudah terlebih dahulu meneriakan alarm, “Tuhan itu lebih dari hebat”.
Tapi seandainya Isara lebih pintar mengeja bayangan itu. Mungkin pernikahan palsunya dengan Patta tak kan pernah terjadi, dan semuanya akan menjadi happy ending yang menyenangkan setelah kematian tokoh yang beruntun. Jelas pernikahan palsu, nama apalagi yang cocok jika pernikahan itu didasari oleh ketakutan atas ancaman bayangan-bayangan sialan itu. Tidak, maksudku Isara tak cukup jeli bahwa perasaan itu harus didasari rasa percaya. Ya, itulah enigma, teka-teki.
Chang membuktikan bahwa keyakinan, tak peduli bersumber dari mana, asalkan hati menjadikannya sebagai penerimaan yang akan membawanya pada zona nyaman, semuanya masih menjadi sesuatu yang patut ada perjuangannya. Meski hingga menulis ini, gerangan, apakah agama yang dianut Chang ? kematian terasa damai, meski dalam kobaran api yang ganas menyala. Meluluh lantahkan apapun yang mencoba menghalanginya. Dan itu semua bertumpu pada satu titik : kehadiran Tuhan, ketika kita mencoba tak mengambil jarak jauh dengan-Nya akan membawa kepercayaan atas segala hal yang terjadi. Penerimaan yang indah, dan tak terbantahkan oleh apa pun. Iman.
Bukan hanya bedebah tampan, tapi jika boleh kutambahkan, dia adalah penjahat kelamin yang perlu dikasihani. Terlepas dari kekejian apa yang Goza lakukan, sejarah dan masa lalunya membuat semua orang akan sepakat memetik satu lembar hikmah yang sama : kelurga adalah segalanya. Tak terbantah, jika kelakuan bejatnya pun karena dihasilkan oleh kebejatan ibu bapaknya yang terlalu bodoh menyia-nyiakan pria tampan yang berani seperti Goza. Mas, seandainya kebedebahan Goza bisa dituliskan dalam berlembar-lembar kertas, lagi. Wanita itu, tak seharusnya terburu-buru menarik pelatuk pistol untuk menyelesaikan sejarah penjahat kelamin ini. Dan lagi, siapa wanita itu ? ahh.. enigma. Aku tak merasakan aura pertemanan dari sosok bedebah ini, kecuali pada kejahatan dan nyawa manusia yang direnggutnya. Mereka terlihat akrab.
Sosok Hasha yang kubayangkan tak berperawakan tinggi, rapih, dan sentuhan kaca mata menambah khesan pahlawan pena jenius yang siap menggoreskan sejarah keadilan, atas nama kebenaran. Dengan kata, Hasha membuat para bedebah yang bersembunyi dibawah payung pelindung kenegaraan, kocar-kacir kewalahan. Dan lagi, mengotori tangan mereka yang ‘suci’ menjadi pilihan terakhir demi menutupi segala kebusakan yang dilakukan. Mereka lupa, ada masanya saat dimana permainan itu harus dihetikan dengan paksa ataupun sukarela. Meski lewat tubuh manusia yang hanya bisa dihargai dengan jari dan pelatuk. Hasha, sosok yang terlalu pengecut untuk sebuah perasaan. Dan lupa bahwa kepercayaan diatas segala-galannya.
Kurani,  Si mata bening yang tak tahu menahu atas apa yang terjadi. Karena baginya perasannya pada Hasha sudah cukup menjadi jawaban atas teka-teki yang dialami teman-temanya. Warung lotek, dan bangku panjang tak lagi menjadi cerita menarik untuk gadis ini, karena sekali lagi, dunianya adalah ketika ia membawa bungkusan siomay dan pecel lele yang kemudian disantap berduara dirumah Hasha dengan cahaya temaran yang romantis.
Satu hal, manusia memang tempatnya alpa, bahkan mengeja maksud bayangan, yang sudah gamblang Tuhan jelaskan pun, tempat alpa itu masih saja tersedia. Mas, bolehkah ku bertanya, jenis pertemanan apa ini ? enigma.

(Choerunnisa, Ciamis, santri kelas bahasa, Pare)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar