Rabu, 27 November 2013

Enigma Yang Meng-Enigma-kan, review Muntaha. MR



Pertama kali maumembaca buku yang berjudul Enigma ini, salah satu seniorku di kelas bahasa mengingatkanku supaya tidak membaca cover belakang buku ini karena dia khawatir kalau aku akan kebingungan dan akan terperangkap oleh kata-kata atau pun tulisan yang ada di cover belakang buku  ini. Karna ada sedikit respek terhadap dia, ya sudah aku turuti  sarannya yang sebenarnya bertolak belakang dengan kebiasaanku. 

Dengan bermodal kebingungan yang masih menggelantung di pikiranku, aku buka lembaran pertama buku ini dengan harapan semoga dengan membuka bukuini selembar demi selembar aku menemukan jawaban atas kebingunganku. Lembar demi lembar aku raba, mulai dari satuan, puluhan, bahkan ratusan lembar telah kujamah tapi tak satu pun dari lembaran itu yang membantu. Aku mencoba mengalihkan kebingunganku dengan mencari sesuatu yang baru. Apa sih maksud dan tujuan dari bukuini? Itu pertanyaan pertama yang menyapaku. Karena belum ada jawaban, aku coba baca lagi. Nah di babak yang kedua ini aku sedikit menemukan setetes jawaban dari berbagai macam  pertanyaan yang ada di buku yang bagiku menyimpan banyak misteri ini. Satu yang pasti jangan pernah mendahului kehendak Tuhan walau pun kita diberi kelebihan olehNya dari yang lain. Buku ini juga mengajarkan satu hal padaku, bahwa manusia itu jauh lebih sempurna dari malaikat. Karena dengan karena dengan kesempurnaannya itu manusia bias menembus dan menerawang keinginan dan perasaan orang lain yang akhirnya bermuara pada masa depan manusia itu sendiri. Tapi buku ini juga menunjukkan bahwa manusia itu lebih serakah dan lebih bodoh dari malaikat dengan kesempurnaannya  sendiri.

Di samping itu sesuai dengan judulnya Enigma, buku ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang membuat si pembaca harus menyusur ilorong-lorong misteri untuk menemukan jawaban dari misteri yang terkandung dalam buku ini. Misteri yang berawal dari nama-namas ipelaku yang kesemuanya tak seorang pun yang berbau Jawa tapi tempat kejadiannya sangat kental sekali dengan Jawa. Entah ini tujuan dari sang penulis untuk membawa si pembaca ke alam lain atau memang karena si jiwa sang penulis memiliki tingkat imajinasi yang begitu tinggi melampaui manusia-manusia lainnya, khususnya si pembaca. Mengapa bukan Sutrimo, Karwo, atau bahkan Herwibowo? Kenapa mesti Hasha,Patta, Chang, Goza, dan Isara, ya walau pun nama Isara di sini cocok dengan peran atau pun kemampuan yang ia miliki..?

Alur cerita yang ada dalam buku ini juga membuat si pembaca memaksakan dirinya masuk ke dalam enigma yang ada dalam buku ini sendiri. Alur yang sebenarnya panjang menjadi pendek karena terputus oleh arus tarikulur cerita antara yang di depan dan yang di belakang, yang di depan di tarik ke belakang dan juga sebaliknya. Walau  pun keduanya masih berkesinambungan tapi tak mengurungkan pemikiran si pembaca tuk bermesra-mesraan dengan pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan sehingga daya magnet yang seharusnya menjadi cirri khas sebuah novel untuk menariksi pembaca larut ke dalam alur peristiwa yang menimpasi pelaku seakan-akan hilang. Akhirnya bukan obrolan yang ada di antara saya (sipembaca) dan si Enigma ini melainkan sebuah caci maki. Si pembaca goblok ga bisa membaca karena yang dibaca gila imajinasi.

Muntaha. MR, Dari Pontianak, Kal-Bar. (Murid Bahasa Di Smart ILC Pare Kediri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar