Rabu, 27 November 2013

Titian Tujuh Serabut, oleh Uun Nurcahyanti

Masa depan adalah komoditas dagang. Dalam nalar modern persoalan masa depan menjadi obrolan khas yang harus memiliki jejak finansial. Ia tertinggal dalam kenangan buku tabungan dan buku-buku yang menjlentrehkan impian-impian. Berupa di buku rapor sekolah, ijazah dan sertifikat-sertifikat. Dinisankan dalam nama diri yang kelak mesti semakin panjang. Panjangnya epitaf nama-nama ikutan ini seakan menjadi jaminan akan semakin terangnya masa depan si pemilik nama.
Nama diri tidak menjadi perhatian dan rebutan. Rahim-rahim tidak lagi mengalirkan tokoh-tokoh baru.Peran itu diambil alih oleh institusi pendidikan. Pemberian nama mengacu pada tradisi purba yang telah menjadi rutinitas bernama wisuda. Manusia seakan terlena. Dengan gagah melupakan bahwa dirinya berlazim untuk melakukan laku mencipta meski dalam pusaran yang tetap: misteri takdir. Sebuah enigma.

Pusaran yang dibawa oleh mistisisme novel Enigma adalah pendobrakan pada konsepsi baru yang usang tersebut.Mencemooh totalitarian bahasa yang seringkali menggelincirkan sikap batin dan mentalitas diri manusia. Masa depan ada pada tubuh masa kini yang bermaterialkan masa lalu. Ia sedekat urat nadi kita. Bagian dari suratan ilahiah.Utuh tetapi terpecah.Bukan sesuatu yang serba abstrak yang mesti diraup dengan impi-impi berbungkus cemas. Pecahan-pecahannya adalah potongan-potongan puzzle yang nantinya bakal terekatkan oleh benang cerita. Membentuk adegan-adegan drama yang ramai oleh tokoh yang dengan takzim menjalani riwayat skenario Si Penulis Novel.

Kehendak Hidup
Menyongsong masa depan cerah. Bahasa lazim yang sering digunakan oleh perusahaan asuransi, lembaga keuangan, dan institusi pendidikan. Kata menyongsong menjadi lecutan untuk berlomba-lomba menguak tabir masa depan. Namun Yudhi Herwibowo membawa alam masa depan ke depan hidung manusia Isara. Lembaran-lembaran takdir bertebaran dalam dupa-dupa penuh isyarat. Seandainya slogan-slogan menguak masa depan itu memang membawa keberkahan dan kecerahan tentu hidup menjadi lebih benderang. Masa depan yang dibawa Isara dalam peristiwa keseharian tentu menjadi karunia. Isara tak harus memilih. Hidup menjadi mudah karena ia berkemampuan menghindari celaka. Tapi masa depan yang jelas itupun ternyata tetap menuntut tafsiran.

Tafsiran manusia seringkali meleset.Berkelindan dan lagi-lagi membentuk misterinya sendiri. Membawa tanda tanya dan hidup dalam kemauan Sang Penulis Skenario. Menegaskan bahwa kelaziman manusia bukan sekedar menghindari kematian dan celaka, tetapi juga menghindari takdir dirinya.Karena diri manusia dilengkapi kemauan dan hasrat.Kekarep.Bukan sekedar karep.Kekarep ini mampu menjadi tabir yang selapis demi selapis bakal menyelaputi ketajaman firasat.
Riwayat firasat dekat dengan kesengsaraan.Dalam takdir hidup Isara, lakon ini terungkap dalam kesunyian yang tragis.Dalam luka yang senyap itu Tuhan tetap berkehendak Isara ada. Menitipkan sekedip mata besarnya untuk dimiliki ia yang tak termiliki. Pada sisi ini pun Yudhi Herwibowo konsisten mencemooh keengganan manusia dalam menghadapi kesakitan yang membanting. Bahwa hidup bukan jalur lurus nan mulus. Toh senyaman-nyamannya track MotoGP, tetap saja menyimpan maut.

Hidup itu pilihan.Siapa yang masih mau berkata demikian bila takdir adalah keutuhan yang terpecah.Pertemuan adalah Enigma. Perpisahan Enigma. Percintaan Enigma. Persahabatan Enigma. Ruang yang mengikat pun tak bisa dengan jumawa kita pilih dan kita patok-patok sekehendak hati.Toh  sepiring lotek dan bangku warung mampu menjadi kisaran takdir. Membawa drama hidup dalam pentas teatrikal panjang dan tak dinyana.

Tak dinyana adalah tetes air hujan yang mengaliri ladang-ladang kehidupan. Tak dinyana membawa lekuk tubuh  Tuhan. Mengawetkan serba maha yang tertera sebagai titelnya.Tak dinyana juga membentuk ritme nada dan irama meski tanpa musik yang nyata.Hidup menjadi berwarna kala gelap menemani terang.Novel Enigma menyuguhkan serba tak terduga ini untuk menyaingi toko serba ada.Dalam toko serba ada tidak ada kegelapan dan bau busuk seperti dalam pasar tradisional.Mall minim kejutan peristiwa.Hal yang mengejutkan hanyalah harga.Berbeda dengan pasar yang berdesakan.Banyak yang tak terduga.Hidup memang serba tak terduga.Keterdugaan mengubur hidup.

Sejilid Takdir
Konsep gelap yang bercerita tertumpah dalam fisik buku, Kegelapan adalah sang penyimpan misteri. Mengabarkan kejut untuk disapa.Sampul  hitam berhias gerigi menjadi musik pembuka untuk menikmati pentas teater dalam raga novel. Saat tabir dikuak meletuplah mantra-mantra.Berulang.Berganti. Kembali, Bergeser. Lalu para arwah membentuk keheningan.Memanggil para pejalan lelaku.

Hidup berjalan cepat dalam lintasan waktu yang serba bertabrakan. Masa depan memanggil masa lalu. Masa lalu mengakar di masa kini.Waktu tidak menjadi jam-jam berangka. Jarum jam adalah absurditas tak beraksara. Penggolongan waktu menjadi tahayul belaka.Konsepsi ekonomi modern yang mengkultuskan waktu demi memperpanjang hidup patah dalam dunia penuh teka-teki dalam novel Enigma.

Manusia memang makhluk ekonomi.Namun bukan mutlak ekonomi.Hukum relativitas Ensteins tetap berlaku dalam segala tata hidup manusia.Manusia bukan makhluk mutlak layaknya malaikat.Ekonomi berhidup dalam ketakziman serba relatif ini.Ketidaknyanaan tetap menjadi tawaran tegas.Hidup yang berpusat pada uang akan menghalalkan segala laku. Kerja bukan lagi makarya.Berkarya.Kerja adalah mengumpulkan uang agar segera kembali terhamburkan.Dengan demikian kehidupan manusia aman dan terjamin. Kebahagiaan akan segera datang. Toh ada uang untuk membelinya.Kebebasan finansial adalah kebahagiaan.Memanggil cinta.

Lakon Goza dan Wirajja memberi wajah nyata tentang sosiologi dan psikologi uang. Menghasilkan pemujaan ragawi terhadap apa saja. Bedebah bukan menjadi peringatan tetapi ingatan dan kerinduan. Hanya lantaran ia  rupawan. Ia memiliki kekuasaan. Bedebah begitu lekat dengan lingkup birokrasi.Tak lazim tapi nyata.Menyimpang namun terbiarkan.Terjadi di ruang-ruang yang mengatur keja publik.Benderang tapi tak tersentuh.Enigma.

Sayangnya potongan teka-teki ini justru compang-camping di halaman terakhir buku. Cover belakang.Pertaruhan penulis yang lebih banyak menebar jala penasaran dan menghasilkan pertanyaan justru tergagalkan oleh keteranganyang tertera di sampul belakang. Kilas tentang tokoh yang tertera disana tidak mengabarkan enigma.Terlalu terang sehingga melabrak konsistensi penulis yang dengan tekun membentuk bangunan Enigma sepanjang cerita. Membaca cover belakang mengguriskan kecewa.

Kuasa Nama
 Penulis masih memegang teguh tradisi memberi nama pada benda-benda seperti yang terkabar dalam Al Baqarah, tetapi ia tidak terseret pada arus keasingan yang mengawang. Seperti yang dilakukan penulis-penulis novel era 80-an yang membawa modernitas dalam nalar nama berbau Eropa. Yang dilanjutkan dengan nama-nama berbau Timur Tengah saat novel-novel religius dan sufistik melimpah. Pilihan nama yang asing tapi magis selalu menjadi ciri khas Mas Yudhi. Dugaan saya, nama-nama ini bertubuh tradisional yang kental.Nama yang seharusnya lebih berasa Indonesia yang beraneka aksara dan rasa.Kata yang dekat tetapi masih jauh.Nama memiliki kuasa khas dalam setiap karya Yudhi H.

Setelah bertanya-tanya, ada beberapa nama yang bisa tertelusuri. Isara yang orang Jawa merupakan kata dalam bahasa Bugis.Bermakna pertanda atau isyarat.Dalam bahasa Arab juga.Ketidaklaziman yang merupakan tawaran keberaniandri Mas Yudhi untuk menantang diri dalam mencipta nama. Asing tapi mengakar.Bukankah tak mengapa?

Patta juga merupakan panggilan khas kehormatan dalam bahasa Bugis.Biasanya diperuntukan untuk manusia cerdik pandai.Seperti karakter yang dibawakan tokoh Patta. Yang juga seakan mengamini bahwa pelajar yang pandai akan mengalir di dua tempat. Kampus dengan menjadi dosen atau ke lingkaran birokrat.Pilihan penulis yang membawa cerita ke kursi Senayan bukan sekedar ingin menguak adanya konspirasi kekuasaan yang memang bukan rahasia lagi.Dalam formalitas akut yang serba santun dan kabur itu ternyata tetap ada hal tak dinyana.Persahabatan.

Senayan menyimpan seorang Sanda untuk Patta.Mungkin imaji pembaca menanti skandal. Hal yang biasa tejadi pada eksekutif muda produk metropolitan dan, maaf,  Senayan. Ruang eksklusif bertabur rupiah berlimpah ruah.Mas Yudhi menggagalkan dugaan pembaca.Segala hal tak semau kelaziman umum.Sang pembuat cerita selalu melakukan laku tak dinyana.Lelaku Ahmad Fathanah yang bergelimang pelukan perempuan dan rupiah dikecoh dengan pertemanan Sanda dan Patta. Lelaki bisa saja hanya memiliki sebuah nama dalam hatinya. Serasa bodoh di zaman serba permisif ini.Tak dinyana.

Kurani yang bermata bening dan berbahasa penuh kesantunan seperti baju lain dari kata Nurani yang terlanjur telah berkecambah. Atau Qur’ani. Lembut dan penuh material cerita yang berserakan.Pilihan-pilihan nama ini menjadi tanda tanya.Membentuk enigma lagi-lagi.Indiray. Goza, Hasya, dan Wirajja masih menjadi serabut pertanyaan.

Penokohan
Tujuhtokoh  menghidupkan sejilid takdir. Memiliki warna benang yang tak sama. Terajut indah dalam selendang drama  berirama cepat.Bila Laela S Chudori dalam 9 Dari Nadira melakukan cara bercerita yang sama tetapi dengan sayatan yang tenang, Yudhi H. melakukannya dengan irama yang mencacah. Namun tidak membuat serpihan yang bias.Secara cepat mampu merangkul pembaca untuk memasuki kemagisan cerita.Mencengkeram dengan aneka cekam.
Cengkeraman yang dilakukan Enigma kurang menghujam.Kurang mencukupi untuk memuat judul Enigma sebenarnya. Saya membayangkan bila setiap pergulatan diri sang tokoh dipertajam dengan latar masa lalu yang lebih mendetail maka rasa Enigma akan lebih menggugah dan gurih. Dengan kekuatan bercerita yang peka ala Yudhi Herwibowo dan gaya bahasanya yang bersahaja tapi antep,rasanya tak mengapa bila Enigma jadi setebal Filosofi Catur. Ia akan senikmat teh ginastel yang beruap pagi.

Lakon Goza membawa kesan mendalam pada banyak pembaca.Ia menyimpang dari akad kebaikan ala agama. Mencemooh zaman dengan keberanian berlaku lepas.Merdeka dalam memaknai hidup.Menabrak segala pagar kelaziman.Goza sampah namun menyita perhatian.Paling gencar terbicarakan meski dengan caci-maki.Membentuk pola pikir dan batin pembaca secara kuat.Latar belakang kehidupannya yang sepekat malam sebenarnya bisa menjadi pelajaran keorangtuaan yang luar biasa.

Menampar budaya pernikahan tanpa memahami tanggungjawab regenerasi bangsa. Menampar pola pikir massa yang lebih sering menganggap bahwa pendidikan anak hanyalah urusan domestik rumah tangga.Negara yang mengabaikan persemaian anak bangsanya akan tuntas dalam kesudahan. Bahwa Goza adalah simbol generasi sebuah bangsa.Ia ada dan telah bergerak dalam jamaah bedebah. Mereka yang melahirkannya adalah iblis-iblis, meminjam bahasa Goza.Enigma mampu menjadi lokomotif tobat nasional untuk meruwat nusantara.Haha.
Goza hanya satu contoh.Bumbu lotek dan bangku warung yang telah berumur puluhan tahun itu belum berbahasa. Apalagi Senayan. Juga café yang menjadi tempat nongkrong para anggota dewan yang terhormat.Tempat-tempat yang berceloteh tentu akan membawa kesan magis yang serba tak terduga. Sealur dengan Enigma.Siapa tahu itu akan berbuah nobel sastra. Ah, itu mimpi pembaca.
Entah sebagai kesengajaan atau bagaimana, penokohan dalam novel Enigma terasa serba nanggung.Saya bercuriga ini bagian dari pecahan teka-teki Enigma itu sendiri.Dalam pentas teater latar tokoh terkuak dalam obrolan dan tutur kata.Ia menjadi kekuatan. Maka kesan peristiwa membaca dalam lakon pentas drama menjadi pengalaman yang sungguh baru bagi saya.Yang bahkan belum bisa hadir saat membaca buku model skenario drama.Ada harapan Enigma menjadi suguhan pentas teatrikal suatu saat nanti.Kata-kata yang disodorkan Mas Yudhi memiliki musikalitasnya sendiri.Mantra-mantra.Dupa.Aku.Kau.Mereka. Hadirlah Enigma dalam pentas tanda tanya. Bukankah hidup itu serba tak dinyana? Masih Enigma.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar